ASAL-USUL ORANG NIAS
Ama Robi Hia (Jajang A. Sonjaya)


Talufuso, izinkan saya menyampaikan kisah ini, yang saya dengar dari bapak saya, Ama Watilina Hia. Bukan maksud saya sok tahu atau menggurui. Bapak saya seperti sudah tahu, umurnya tidak akan lama lagi. Maka ia menceritakan ini pada saya karena takut kisah asal-usul ini hilang. Ama Watilina sekarang sudah tiada. Biar spirit dan jasanya selalu hidup, saya kisahkan kembali di sini--agar kita tahu dari mana kita berasal dan ke mana kita menuju.

Orang Nias atau Ono Niha mengenal ungkapan bö’ö mbanua, bö’ö mböwö yang artinya lain kampung, lain pula adatnya. Dari mana sebenarnya asal Suku Nias dan mengapa dalam perkembangannya adat kami menjadi beragam adalah pertanyaan spontan saya ketika pertama kali mengunjungi Nias. Kemudian rasa penasaran ini makin mengukuhkan hati saya untuk memulai penelitian dari daerah yang dipercaya sebagai asal-usul Suku Nias, yaitu Börönadu.

Börönadu berasal dari kata börö yang berarti awal dan adu yang berarti patung. Dahulu, setiap Ono Niha dari golongan bangsawan yang meninggal akan dibuatkan patung dari kayu atau batu. Patung tersebut merupakan representasi dari orang yang meninggal. Jadi kata börönadu berarti asal-muasal tradisi pembuatan patung. Semua orang Börönadu—juga orang Nias kebanyakan—memang percaya bahwa Börönadu adalah tempat manusia pertama Nias turun dari langit. Börönadu, tempat yang dipercaya sebagai asal-usul Suku Nias tersebut, sulit dicari karena tidak tercatat pada peta atau pada daftar desa.

Börönadu adalah nama kuno untuk menyebut sebuah perkampungan yang kini bernama Desa Sifalagö Gomo, Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan. Jadi, Börönadu adalah pemukiman setingkat kampung atau dusun, yang merupakan bagian dari Sifalagö Gomo. Selain Börönadu, di desa ini terdapat beberapa dusun atau kelompok pemukiman lain, yaitu Böröwosi, Helakao, dan Tetehosi. Orang Sifalagö Gomo saat ini lebih senang menyebut desa mereka secara lengkap: Sifalagö Gomo Börönadu. Sejak tahun 2012, Börönadu  menjadi kecamatan. Hampir setiap tahun saya datang ke sini, namun situasinya tetap sama: terpencil dan sulit dijangkau.

Börönadu sungguh terpencil, dikelilingi gunung-gunung. Jarak dari pusat kecamatan lebih-kurang 7 km. Jika tidak hujan, sejak jadi pusat kecamatan, kendaraan 4WD bisa masuk. Sebelumnya, saya harus berjalan kaki dari Kampung Helowo atau bahkan dari pusat Kecamatan Gomo menyeberangi beberapa sungai dan naik-turun gunung. Börönadu berada persis di tengah Pulau Nias, di tepi Sungai Gomo. Börönadu merupakan perkampungan yang unik, karena nuansa kekunoannya masih sangat terasa. Tatanan pemukiman dengan beberapa rumah adat serta batu-batu megalitik yang tersisa bisa menjadi petunjuk bahwa tradisi megalitik pernah hidup di Börönadu. Meski saat ini sudah berstatus sebagai kecamatan, namun kondisi Börönadu tidak jauh berbeda.

Penelusuran saya mengenai asal-usul Orang Nias di Börönadu dimulai pada minggu kedua tinggal di sana, tepatnya 3 September 2005. Pada saat sepi—biasanya siang hari pada saat warga pergi ke ladang—saya mulai melakukan pencarian megalitik. Sebagai arkeolog, pencarian asal-susl saya mulai dari jejak kebendaan. Saya mencoba memindahkan apa yang saya lihat ke atas kertas. Sebuah sketsa pemukiman pun terbentuk. Pemukiman Börönadu berbentuk memanjang searah dengan aliran Sungai Gomo yang mengalir dari arah tenggara ke baratlaut.  Panjang dari ujung ke ujung kira-kira 300 meter. Rumah-rumah saling berhadapan menghadap ke jalan yang lebarnya 6 meter. Permukaan jalan ditutup oleh tatanan batu kali. Di kanan kiri jalan ini ditemukan beberapa menhir dan meja batu. Ada dua rumah adat Nias yang masih berdiri utuh di kampung ini, milik mantan kepala desa dan saudaranya, terletak di tengah perkampungan.

Saya merasa heran dengan situasi perkampungan seperti ini, karena dalam bayangan saya di Börönadu akan banyak dijumpai rumah-rumah adat, seperti di Bawomataluo yang gambarnya bisa dengan mudah diakses di internet. Ternyata di tempat yang dipercaya sebagai asal-usul orang Nias itu hanya ada satu rumah adat yang besar dan satu yang kecil di sampingnya. Di depan rumah adat tersebut terdapat halaman yang dipenuhi batu-batu megalitik berbagai ukuran. Sebuah tugu berbentuk piramid berada persis di tengah halaman. Di sekelilingnya terdapat banyak menhir, awina (dolmen), dan kursi-kursi batu. Konon, tugu itu adalah tanda tempat turunnya manusia pertama.

Jejak megalitik yang dominan adalah menhir, berikutnya awina. Menhir adalah batu monolit berukuran 1 – 2 meter yang diletakkan (men berarti batu dan hir berarti berdiri). Menhir didirikan di halaman rumah, di tengah perkampungan, dan di luar kampung sebagai pembatas desa. Awina adalah meja batu yang berfungsi sebagai wadah kubur yang selalu menyertai menhir. Setiap awina pasti berasosiasi dengan satu menhir, tetapi tidak semua menhir berasosiasi dengan awina karena tidak semua menhir berfungsi sebagai tanda kubur. Menurut penuturan para orangtua di Börönadu, menhir digunakan sebagai tanda telah berlangsungnya peristiwa-peristiwa penting, seperti upacara penguburan, pendirian kampung, kelahiran anak, dan sebagainya.

Meskipun batu-batu tersebut sudah menjadi monumen, namun masih ada cerita yang melekat padanya. Ini merupakan modal saya untuk menelusuri jejak budaya megalitik di Börönadu. Saya harus menelusurinya melalui cerita penduduk, hoho (sejenis puisi), praktik tari-tarian, dan ritus-ritus hidup lainnya. Sebagai arkeolog, saya juga mencoba mencermati batu-batu agar dapat bercerita kepada saya. Asumsinya bahwa batu-batu tersebut adalah data autentik yang mencerminkan perilaku tertentu; dan perilaku tersebut dikendalikan gagasan tertentu. Perilaku yang langsung terkait dengan megalitik sudah sulit dibaca, namun ternyata masih ada mitos yang terkait dengan batu-batu tersebut.

Penelusuran saya mulai dari sembilan buah menhir yang terdapat di tengah perkampungan. Batu-batu megalitik yang rata-rata setinggi satu meter itu berdiri berjajar rapi dengan interval rata-rata 2 meter. Menurut cerita penduduk setempat, sembilan buah menhir ini adalah monumen dari para leluhur yang kelak menurunkan marga-marga besar di Nias, seperti Zebua, Giawa, Hulu, dan Telaumbanua.

Cerita tentang turunnya manusia itu salah satunya ditemukan dalam sebuah hoho yang ditulis oleh Ama Watilina Hia. Hoho adalah tradisi lisan, namun, pada tahun 1985 mitos tentang asal kejadian manusia ini ditulis oleh Ama Watilina. Ada banyak versi tentang mitos asal-usul manusia di Nias, yang mana masing-masing daerah sedikit berlainan bahkan ada juga yang sangat berlainan (mengenai asal-usul manusia lebih lanjut baca: Hämmerle, 2001). Hoho yang ditulis oleh Ama Watilina Hia  menceritakan bahwa, konon, di Teteholiana’a (negeri di atas awan) terjadi pergumulan antara angin Metakheyo Simane Loulou dan angin Hambula. Kedua angin itu saling berputar seperti dua pasang makhluk yang sedang bermain dan bersenda gurau. Seiring berjalannya waktu, hingga sembilan bulan lamanya, keluarlah tangisan dari bilik kamar. Seorang bayi lahir di Teteholiana’a.

Anak Sirao yang turun dari Teteholiana’a sebenarnya banyak, namun tidak semuanya bisa turun ke bumi. Sebagian ada yang menyangkut di awan atau sirna terbawa angin. Akhirnya yang bisa turun ke Nias hanya sembilan manusia (nenek) yang jejaknya bisa dilacak melalui sembilan buah menhir di Börönadu. Kisah ini dituturkan secara lisan oleh bapak saya, Ama Watilina Hia yang memiliki nama kecil Sambörö Hia. Saaat itu saya tidak bisa menggali lebih banyak sebab saat menyebut nama-nama leluhur, tiba-tiba angin puting beliung datang dan menggoyang-goyangkan rumah. Pintu atap tertutup sendiri dan kain gording tersingkap terhempas angin. Bapak saya tiba-tiba kejang-kejang dan mulutnya mengeluarkan suara aneh, berbuih. Kejadiannya dini hari di penghujung September 2005.

Semua anak dan kerabat sekampung dipanggil. Semua mata serasa tertuju pada saya. Ada yang salah. Ya, kami menyebut nama leluhur tidak dengan semestinya. Menyebut nama leluhur tidak boleh sembarangan. Setelah dipotongkan ayam yang dipersembahkan pada leluhur, akhirnya bapak saya pun tertidur dan nampak tenang. Keesokan harinya sudah pulih dan bisa berangkat ke ladang. Namun setelah kejadian itu, saya tidak ada keberanian bertanya perihal asal-usul dan menyebut nama-nama leluhur.

Tahun 2009, saat kunjungan kesebelas kali saya ke Börönadu, bapak saya mengajak saya menyambangi sembilan menhir para leluhur orang Nias. Sembilan menhir yang masih berdiri kokoh di tengah perkampungan adalah monumen dari para leluhur yang melahirkan marga-marga besar di Nias. Bapak saya yang meminta saya memfilmkan dengan kamera pocket seadanya. “Hanya tinggal aku yang tahu tentang kisah ini”, tuturnya, “jika sampai aku mati, siapa lagi yang akan menceritakan pada anak cucu nanti.”

Saya merinding mendengarnya. Ingat kejadian empat tahun silam ketika bapak saya hampir meninggal gara-gara menyebut nama leluhur. Sepertinya bapak saya tahu apa yang saya pikirkan. “Jangan khawatir, bapak sudah dapat restu dari para leluhur tadi malam, sudah bapak potongkan anak babi semalam.”

“Ini adalah menhir orang-orang hebat!” bapak mulai berkisah.

Zaman dahulu, ketika di Börönadu  jumlah orang makin banyak, beberapa leluhur memutuskan pergi membentuk mado-mado baru tidak jauh dari sini. Fondrakho sudah tidak mampu lagi mengatur yang ada sebab antara alam dan jumlah manusia tidak lagi seimbang. Banyak perkelahian dan pembunuhan untuk memperebutkan dan mempertahankan tanah, perempuan, dan harta. Inilah penyebab harga diri menjadi penting di Nias. Jika seseorang tidak bisa mempertahankan tanah, perempuan, dan hartanya, maka ia tidak ada harganya di kampung. Orang yang kalah akan pergi dan membuat kampung baru. Ini yang terjadi dengan para leluhur yang waktu itu memutuskan bertahan di Börönadu

Berbeda dengan sembilan leluhur ini, mereka sepertinya sudah membaca apa yang akan terjadi ke depan bila mereka bertahan di sini. Suatu hari, mereka berkumpul di kursi-kursi batu dengan meja batu di tengahnya. Ini yang disebut dadaoma ono zalawa, tempat duduk para pemuka adat. Para anak/cucu Sirao duduk di sini membicarakan masa depan. Di kursi dan meja batu ini mereka memutuskan untuk berpencar membangun penghidupan baru bersama para keturunannya.

Adalah Sebua Moroi Balangi, leluhur marga Zebua yang memutuskan pindah ke arah utara, Balö Danö atau tanah ujung. Ia adalah salah seorang anak yang sangat cerdas dari Silogubanua anak dari Loumewöna.  Menurut Ama Watilina Hia, Loumewöna adalah anak kandung Sirao yang turun dari langit bersama Hia Walani Adu. Jadi, Hia dan Loumewöna itu kakak beradik. Hia Walani Adu bersama keturunannya memutuskan untuk tetap tinggal di Börönadu, sedangkan saudara-saudara bersama keturunannya memutuskan untuk berpencar ke berbagai penjuru Tano Niha untuk menjaga “keseimbangan”.  Dalam pohon silsilah yang dibuat Ama Watilina Hia disebutkan bahwa nenek moyang orang Tundrumbaho adalah keturunan Hia bernama Lase, sedangkan nenek moyang orang Teluk Dalam adalah keturunan Hia bernama Sadawamölö.

Sementara itu, dalam tulisan Thomsen tahun 1976, disebutkan tentang waktu perpindahan marga-marga besar dari Börönadu sebagai berikut (Thomsen, 1976: 27). Telaumbanua bersama klannya pindah dari Börönadu kira-kira 40 generasi yang lalu. La’ia bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu.Ndururu bersama klannya pindah dari Börönadu 36 generasi yang lalu.Zebua bersama klannya pindah dari Börönadu 38 Generasi yang lalu. Hulu bersama klannya pindah dari Börönadu 26 generasi yang lalu.

Lantas pertanyaan berikutnya yang muncul adalah bagaimana Ono Niha menyebar dari Börönadu? Para leluhur orang Nias di Börönadu dimonumenkan dalam bentuk sembilan menhir yang merupakan salah satu bentuk megalitik yang ditemukan pula di tempat lain di seluruh dunia dengan berbagai variasi nama. Di Nias, menhir ditemukan di mana-mana, baik pulau-pulau besar maupun kecil. Berdasarkan tipenya, menhir di Börönadu jauh lebih sederhana bentuknya dibandingkan dengan tempat-tempat lain di Nias, seperti Tundrumbaho dan Teluk Dalam yang sudah terkenal itu. Menhir di Börönadu dibuat dari batu alam yang sama sekali tidak dibentuk tangan manusia, tidak digores ataupun diukir. Tinggalan lain yang biasanya berasosiasi dengan menhir adalah dolmen yang merupakan wadah kubur orang Nias. Bentuknya pun sederhana, terbuat dari batu kali utuh yang disangga oleh beberapa buah batu alam sehingga bentuknya menyerupai meja.

Di tempat lain, seperti Tundrumbaho yang masih termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Gomo, menhir sudah diukir menyerupai kepala manusia dan mempunyai tangan. Menhir macam ini dikenal dengan istilah arca menhir. Demikian pula dengan wadah kuburnya sudah diukir dan memiliki tutup, jauh lebih rumit dibandingkan dengan di Börönadu. Situs Tundrumbaho yang terletak di Desa Lahusa Idanötae ini terletak kira-kira 3 km sebelah selatan pusat Kecamatan Gomo, sedangkan Börönadu berada 7 km sebelah timur pusat kecamatan. Secara umum, Situs Tundrumbaho merupakan lokasi ‘penampungan’ batu-batu megalitik, meskipun di lokasi itu ada pula yang in-situ (asli di tempatnya). Selain menhir, di situs berketinggian 220 mdpl ini terdapat meja batu dan osa-osa. Di sekitar situs ini dijumpai banyak fragmen gerabah. Hal ini mendorong tim peneliti dari Balai Arkeologi Medan melakukan test pit (penggalian uji coba). Berdasarkan carbon dating, aktivitas manusia di situs ini berlangsung antara 340 ± 120  tahun lalu (Koestoro dan Wiradnyana, 2007: 49). Hal ini sesuai dengan cerita yang disampaikan kepala Desa Lahusa Idanötae bahwa di desanya baru berkembang 17 keturunan yang mana nenek moyang mereka berasal dari Börönadu.

Di Teluk Dalam, seperti halnya di Tundrumbaho, hampir semua megalitik sudah diukir. Situs yang sangat terkenal di Teluk Dalam yang sedang dinominasikan menjadi World Heritage adalah Bawomataluo. Situs Bawomataluo yang berada di puncak bukit setinggi 270 mdpl ini berjarak 7 km dari Teluk Dalam. Hal yang paling membedakan dengan megalitik di Börönadu adalah adanya atraksi lompat batu yang jaman dulu merupakan ritual inisiasi bagi anak laki-laki yang beranjak dewasa. Bawomataluo merupakan perkampungan tradisional atau situs pemukiman yang sangat megah yang didominasi oleh bahan batu dan kayu yang sangat besar. Rumah-rumah berjajar saling berhadapan, membujur arah tenggara – baratlaut. Halaman luas dan panjang di antara deretan rumah berhadapan itu biasa digunakan untuk pesta-pesta adat yang kini dipertontonkan bagi wisatawan. Batu megalitik di perkampungan ini yang dominan adalah patung batu yang diletakkan tertidur dan patung yang diletakkan berdiri. Patung tersebut ada yang menggambarkan manusia dan binatang, seperti ular, kadal, buaya, dan cecak (Koestoro dan Wiradnyana, 2007: 40-41).

Jenis-jenis megalitik di luar Börönadu memang lebih beragam, misalnya osa-osa, yang tidak dibuat dan ditemukan di Börönadu. Kesederhanaan bentuk tinggalan memang tidak bisa digunakan sebagai tanda tinggalan tersebut lebih tua dibandingkan tinggalan yang lebih rumit. Keberagaman tinggalan di Tundrumbaho dan Teluk Dalam dapat dikaitkan dengan teori representasi, bahwa setiap komunitas cenderung akan membangun identitasnya sendiri agar nampak beda dengan komunitas lain. Selain persoalan representasi dan eksistensi, catatan berita asing nampaknya perlu juga diperhitungkan dalam menelusuri penyebaran orang-orang Nias ini. Johannes Hämmerle menulis demikian (Hämmerle, 2001):

“.....Di pedalaman Nias di sekitar lembah Sungai Gomo dan Susua, pada jaman dahulu, terdapat desa-desa yang penduduknya paling padat. Apalagi sebagian besar dari sejarah dan kebudayaan Nias bersumber dari situ, yakni dari Kecamatan Lahusa dan Kecamatan Gomo. Umpamanya pada pinggir jurang terjal, di situ terdapat Sungai Susua yang mengalir ke Baho Susua, sebelum bermuara ke laut. Di situ terdapat satu jalan setapak dari jaman dulu yang disebut lala nitela ndrawa, yang artinya jalan yang dibatui oleh orang dari seberang. Pada jalan setapak itu ada satu jalan yang dinamai si samba lahe (jalan selebar telapak kaki), dan di kiri kanan terdapat jurang terjal. Tidak jauh dari lokasi itu terdapat dua kampung yang terkenal, yakni Lahusa Idanötae dan Tundrumbaho, karena kampung tersebut memiliki jumlah megalitik yang paling besar dan paling banyak. Kejayaan besar dari dua kampung itu serta kekayaan dari kampung-kampung lain di sekitarnya dapat terbaca dari jejak megalitik. Hal itu suatu tanda kemakmuran pada jaman dulu sekaligus menunjukkan adanya hubungan dengan luar...”

Demikian interpretasi Hämmerle mengenai mengapa tinggalan megalitik di Tundrumbaho dan sekitarnya jauh lebih besar dan banyak ketimbang dari Börönadu sebagai tempat asal leluhur mereka. Adanya kontak dengan masyarakat luar melalui perdagangan adalah alasan yang sulit untuk dipungkiri. Dalam banyak tulisan para pedagang dan petualang asing, mulai awal Masehi hingga abad ke XV Maesehi, Nusantara telah menjadi tempat persilangan yang ramai antara pedagang-pedagang dari Timur Tengah, India, dan China (baca: Anthony Reid, 2004; Denys Lombard, 2005; dan Peter Bellwood, 2000). Bukan mustahil bahwa jalur perdagangan ini menyentuh pula Pulau Nias yang sudah dihuni oleh manusia yang datang secara bertahap—meski tidak seramai Samudera Pasai tentunya. Kawasan pesisir, seperti Teluk Dalam dan Lahusa kemudian menjadi lebih maju kebudayaannya dibandingkan dengan Börönadu karena pengaruh para pedagang ini. Itulah  alasan mengapa setelah abad  XV Masehi kota-kota yang berkembang di Nias terdapat di pesisir ketimbang di pedalaman seperti Börönadu khususnya dan Gomo pada umumnya. Lucas Partanda Koestoro, kepala Balai Arkeologi Medan tahun 2005, dalam wawancara pribadi mengatakan bahwa kebudayaan di Nias Selatan (Bawomataluo dan sekitarnya) jauh lebih berkembang karena lebih dekat dengan pusat-pusat peradaban, seperti Padang.

-----
In frame: saya dan bapak saya Ama Watilina Hia
📷 Resa Dandirwalu
Sumber: Manusia Langit, Kompas 2010 & Melacak Batu Menguak Mitos, Kanisius 2008

0 komentar:

Post a Comment

Blog Archive